Saturday

Hidup Penuh Makna

Pada bulan Desember 1980, saya diberi dorongan oleh Suster Alberta Sukarsiyati, Kepala Sekolah di SMA Pius Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, untuk mendaftarkan diri sebagai peserta PP II (proyek perintis II), suatu program seleksi penerimaan mahasiswa baru berdasarkan nilai rapor di SMA semester 1-5. Program ini diprakarsai oleh Alm Prof. Dr. Andi Hakim Nasoetion, Rektor IPB pada saat itu. Sebelum dimulai ujian akhir SMA, sudah ada kabar sangat menggembirakan bahwa saya diterima di IPB tanpa testing dan diminta untuk mendaftar serta ikut kuliah matrikulasi mulai bulan Juni 1981.
.
Perasaan gembira bercampur dengan kebimbangan karena orang tua saya termasuk golongan biasa; mampukah membiayai uang kuliah? Ayah pedagang kecil di pasar Baledono Purworejo; ibu penjahit dan pembuat kue. Sedangkan kami adalah KELBES (keluarga kebesaran) karena memiliki 2 anak laki-laki dan 4 anak perempuan. Sarapan favorit setiap hari hanyalah nasi putih dengan telur dadar kelbes, yaitu telur dadar dari 2 butir telur dengan kecap manis yang dibagi menjadi 8.
.
Kedua kakak perempuan saya, meskipun berprestasi di SMA, tidak dapat meneruskan kuliah, melainkan langsung bekerja di Surabaya sebagai karyawan toko Mas milik famili kami. Jangankan berpikir untuk membayar kos dan biaya kuliah, setiap hari uang jajan yang diterima sebesar Rp 100, sangat pas-pasan. Perinciannya, Rp 25 untuk berangkat sekolah naik angkot Purworejo ke Kutoarjo, Rp 50 untuk Jajan, Rp 25 untuk naik angkot kembali dari Sekolah ke rumah.
.
Saya tidak tahu persis dari mana datangnya keberanian untuk tetap berangkat ke Bogor, karena kota besar yang saya tahu hanyalah Jogjakarta. Tapi ada dukungan dari kawan-kawan sekolah dan sahabat seperti Gatot Wijaya, Supriyadi, Na Kiem Han, dan juga ayah, ibu serta kedua kakak saya agar mau berpikir besar (”Think Big”), mau maju, mau berubah dan berani mengambil kesempatan ini. Mereka berjanji akan membantu bila ada kesulitan, sehingga saya putuskan untuk berangkat ke Bogor naik Bus Limas dengan hanya membawa pakaian secukupnya, ijazah SMA, surat pendukung, serta uang tunai Rp 100.000. Ternyata yang mereka katakan benar, bahwa dengan berpikir positif, dapat bergaul dan suka membantu orang lain, saya merasakan aliran berkat dari Tuhan selama saya kuliah.
.
Bulan Juni 1981 mulai belajar di IPB, biaya kuliah (SPP) disubsidi oleh pemerintah, sehingga saya hanya keluar uang Rp 24.000 dalam setahun. Kakak kelas saya Ariani, mencarikan kost di Jalan Riau Bogor yang dapat dicapai dengan jalan kaki dari kampus di Baranangsiang. Uang kost Rp 20.000 perbulan sudah termasuk cuci baju dan nasi putih. Ibu saya berjanji akan mengirimkan poswesel Rp 35.000/bulan.
.
Seperti biasa biarpun menjalani hidup sederhana, saya selalu optimistis dan riang gembira, sehingga memiliki banyak kawan baik di lingkungan kost maupun kampus. Pada bulan Agustus 1981, pak Johardi Johor, ketua RT di komplek Jalan Riau memanggil saya agar membantu anaknya Meutia Fariza untuk belajar Fiska dan Matematika karena sudah masuk SMA. Kemudian di bulan yang sama, teman saya Hani yang juga keponakan Ibu Profesor Sayogo, meminta untuk memberikan les kepada putri mereka Sundari. Waktu ditanya berapa tarif untuk mengajar les anak mereka, saya menjawab terserah mereka dan puji Tuhan, dari kedua anak les tersebut saya mendapat honor Rp 35.000, persis sejumlah uang kiriman bulanan dari ibu. Saya tidak tahu persis kenapa mereka memilih saya untuk mengajar anak mereka, tapi saya percaya bahwa jalan hidup saya diatur oleh TUHAN dan saya tidak akan kekurangan.
.
Masih di sekitar kampus dan kompleks, pada suatu pagi dalam perjalanan ke kampus Baranangsiang, saya menyapa seorang pemuda yang kelihatannya seperti mahasiswa, namanya Tubagus Machdum. Ternyata dia bukan mahasiswa melainkan dosen di jurusan Statistika IPB. Saya jadi punya kawan dosen yang kadang mengajak saya untuk ikut dalam mengerjakan beberapa project dan menjadi asisten dosen di Universitas Pakuan, tempat dia mengajar selain di IPB. Sehingga mulai September 1981, saya tidak perlu lagi dikirim uang weselpos dari ibu.
Tanpa lupa belajar, berdoa dan bergaul, saya menjalani TPB (Tingkat Persiapan Bersama) di IPB sampai memilih jurusan, dan menjadi Asisten Kimia di IPB untuk membantu para mahasiswa baru. Jurusan yang saya pilih adalah Teknologi Pangan di Fakultas Teknologi Pertanian. Berkat terus mengalir, dengan banyak teman, hubungan baik dengan semua civitas akademika. Aktif di kegiatan fakultas, senat bahkan memenangkan lomba penciptaan Mars Fateta serta mendapatkan beasiswa setahun penuh sebesar Rp 25.000 per bulan.
.
Karena pengalaman mengajar sejak tingkat 1, saya diperkenalkan kepada Kosasih Iskandarsyah, kakak kelas di IPB yang menjadi guru Matematika di SMA Regina Pacis Bogor. Dia sudah lulus dan akan bekerja di Gramedia Group Jakarta, sehingga mencari pengganti untuk mengajar Matematika di SMA Regina Pacis. Nah jadilah saya guru di SMA paling top di Bogor mulai 1982. Meski sibuk membagi waktu, saya masih mendapatkan prestasi yang baik di IPB dengan mendapat beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) selama satu tahun.
.
Saya pindah kost supaya lebih dekat dengan kampus dan SMA Regina Pacis di kawasan Jl. Kantor Batu, dan kebetulan ada anak tetangga kost kami James yang suka datang untuk minta diajar matematika. Tidak lama kemudian saya diperkenalkan kepada famili mereka, sebuah keluarga yang sangat baik hati yaitu Bapak Gunawan Elisa dan istrinya Ibu Elsye. Sejak berkenalan dengan keluarga itu, berkat semakin mengalir. Saya diminta untuk mengajar les John Elisa, Andre Elisa yang waktu itu masih SMP, dan memperkenalkan saya dengan murid-murid saya yang sampai sekarang menjadi sahabat baik seperti Marcel Theodor, Henrie Syam, Rayanti, Ira dan Iwan Tjahyadi. Semuanya sudah menjadi orang sukses, dan John Elisa sendiri yang sudah jadi pengusaha sangat sukses adalah teman bermain golf setiap hari Sabtu.
.
Mulai tahun 1983, saya sudah melewati tahap berkecukupan, karena selain kuliah di IPB, mengajar di SMA juga mengajar murid-murid les privat. Pendapatan saya sudah sangat besar untuk ukuran mahasiswa, sehingga selain dapat membeli motor, yang menjadi idaman mahasiswa saat itu, saya juga bisa:
  1. Menabung dan membantu teman yang terkadang terlambat mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya.
  2. Membantu membiayai adik saya masuk kuliah di UNS (Universitas sebelas Maret). Dan berturut-turut semua adik dapat mengenyam kuliah dan lulus sarjana, sehingga mengubah nasib keluarga kami dan membuat orang tua di kampung bangga karena meskipun hidup serba pas–pasan, ke 4 anaknya dapat lulus sarjana.
  3. Tetap aktif di kampus dan di lingkungan pergaulan, sehingga banyak sekali teman-teman didapat semasa kuliah.
Demikian juga dalam perjalanan karir, mulai dari sebagai kepala produksi biskuit Verkade di kawasan Pulo Gadung, sampai akhirnya berkarir menjadi orang marketing, baik di perusahaan FMCG (fast moving consumer goods), maupun menjadi eksekutif di beberapa perusahaan Elektronika multinasional di Indonesia dan di luar negeri. Saya selalu bersyukur, bersikap positif, dan menjalani hidup bahagia penuh makna kepada sekeliling saya dan kepada Sang Pencipta.
.
Sekarang saya beruntung bekerja sebagai Direktur Marketing di perusahaan besar multinasional PT. Samsung Electronics Indonesia yang beromzet triliunan rupiah setahunnya. Saya dapat memandang kota Jakarta dari kantor, walaupun hidup tetap bersahaja dan selalu bersyukur atas aliran berkat yang diberikan oleh Tuhan kepada orang lain melalui kita.
.
Berpikir positif dan berpikir besar menunjukkan bahwa kita memiliki kepercayaan penuh atas hakekat penciptaan kita untuk mencapai hal luar biasa. Jika dikombinasikan dengan pengembangan diri dan karakter untuk tetap memiliki ketegaran dan kesabaran serta bersemangat, kita akan mampu melewati masa-masa sulit. Mengikuti kata hati, mau berbagi, memberi suka cita dan memaafkan otomatis akan menyenangkan Sang Pencipta, sehingga aliran berkat akan terus mengalir dan kita menjalani hidup bahagia penuh makna. Kita pun akan diberi kepercayaan yang lebih besar lagi. Hidup dengan mengembangkan segenap talenta agar mencapai hasil yang terbaik, penuh integritas, mencintai sesama, mencintai diri dan Allah Pencipta.
.
Nah inilah sepenggal kehidupan penuh makna yang saya jalani, dan saya percaya setiap saat kita mensyukuri hidup, mau menjalani hidup yang penuh makna, maka kita pun akan memiliki kisah perjalanan hidup yang dapat dibagikan kepada orang lain.

(Dikutip dari buku kami terbaru: BEST LIFE - Hidup Penuh Makna diterbitkan oleh Elex edia Komputindo tanggal 11 Mei 2007)


3 comments:

Unknown said...

Salam dari Kosasih Iskandarsjah. Terus terang saya sudah lupa siapa penulis artiukel ini yang seharusnya saya kenal di awal tahun 80-an. Bisa cek blog saya di:
kosasihiskandarsjah.wordpress.com

joko bido said...

Salam buat anda , saya Muhamad Widoyo sebagai orang muslim yang merupakan alumnus SMP Pius lulusan 1967 bangga dengan Pius, karena saya yang hanya anak petani bisa lulus sarjana dan mampu mendidik anak-anak sehingga kuliah di Universitas Indonesia, hal ini tidak lupa karena motivasi yang diberikan kepada saya bahwa untuk pendidikan Tuhan akan selalu memberikan jalan bagi siapapun yang berkemauan termasuk yang miskin, dan ini terbukti benar.
Selamat berjuang.

Anonymous said...

Hi forum, cool weather and good mood. life is a good thing however turn

Popular Posts