Monday

Wanita di Jajah Pria atau Pria dijajah Wanita ?

Wanita dijajah pria sejak dulu
dijadikan perhiasan sangkar madu
namun ada kala pria tak berdaya
tekuk lutut di sudut kerling wanita

Itulah sebait syair lagu yang mengungkapkan, betapa keberadaan kaum wanita tak bisa disepelekan. Boleh jadi, kehadiran wanita akan menjadi bagian romantika tersendiri kaum laki-laki. Walau pun benar, romantika itu bisa mengarah pada tragedi yang merontokan sendi-sendi kehidupan kaum pria. Sebuah romantika yang bisa berbuah malapetaka.

Tak sedikit karier seorang pria runtuh gara-gara “daya magis” sebuah kerlingan. Tak jarang, kaum pria terpuruk, lantaran rayuan maut pesona wanita. Banyak lelaki, harus terpaksa poligami atau selingkuh dari istri karena tak tahan meredam cumbu rayu. Bahkan, tak sedikit pejabat harus berculas-culas diri, misalnya korupsi, lantaran gelitik rayu wanita yang penuh tuntutan kemewahan dan gemerincing perhiasan.

Sialnya, kebanyakan kaum pria memang tak tahan pada cumbu rayu wanita. Apalagi bila dipenuhi empat unsur pendukung, yakni : Ada wanita (perayu), ada kesempatan, ada fasilitas, dan ada jaminan keamanan. Kalau empat unsur itu sudah terpenuhi, biasanya poligami atau perselingkuhan akan “lancar-lancar” saja. Sehingga predikat kaum pria laksana “superman” sekalipun (hebat, kuat dan smart), bisa menjadi lunglay lemah tak berdaya. Bahkan, tak sedikit yang nekad “menggadaikan” keimanannya demi memenuhi ambisi syahwat. Kalo sudah begini siapa salah?

Tak mengherankan bila ada suara kontradiktif : “Wanita sebagai racun dunia” atau “Wanita sebagai madu kehidupan”. Tak jadi soal wanita mana dan macam apa. Yang pasti, keberadaan wanita di tengah-tengah kaum pria akan membawa kisah tersendiri. Bisa manis luar biasa, atau berantakan tiada terkira.

Gambaran emansipasi wanita, sejatinya bukan lah untuk membuat tekuk letut kaum pria melalui senjata semacam kerlingan. Bukan mengumbar berbagai tuntutan hak secara membabi buta yang bisa membutakan mata hati kaum pria. Bukan pula untuk meraih hak persamaan yang kerap didengang-dengungkan sebagai gerakan “woman libs” atau gerakan keadilan gender hasil produk dunia barat. Tetapi aktualisasi emansipasi wanita kini adalah bagaimana agar kehadirannya mampu pula menghasilkan konsep-konsep jitu dan realistis di pelbagai aspek kehidupan masyarakat. Bukan ikut tandem kepada pria sukses dan berke-pribadi-an. Apalagi dengan cara mengumbar aibnya sendiri.

Memang benar, inspirasi yang dibangkitkan para pejuang wanita itu ibarat api yang membara dalam sekam. Terus menerus berkobar, memancarkan cahaya dan citra diri kaum awewe. Sudah tidak aneh lagi, setiap organisasi mempunyai departemen atau seksi khusus yang menampung aspirasi kaum wanita, sebagai salah satu wahana untuk mengembangkan kemandiriannya. Masalahnya terpulang pada kaum wanita sendiri, mampukah memanfaatkan setiap peluang yang terkuak lebar itu seoptimal mungkin. Seberapa jauh mampu membekali diri, baik secara fisik, mental, sosial dan intelektualnya untuk berpacu dengan setiap tantangan yang dihadapinya. Bukan dengan cara fitnah sini, hujat sana.

Kita tak perlu menutup mata bahwa kesadaran akan hak dan kewajiban wanita mulai tumbuh subur. Bangkit secara pasti, menuai citra dirinya sebagai “tiang negara”. Kondisi ini dimungkinkan oleh semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan pengetahuannya. Ini berarti pula modal dasar untuk mengembangkan kemandirian sesungguhnya telah ada. Oleh karena itu, ia harus memiliki pilihan profesi yang jelas dalam andilnya terhadap pembangunan. Bahkan harus terpanggil pula untuk meleburkan diri dalam pengabdian bagi saudara sekaumnya yang bernasib kurang beruntung. Bukan malah mencari untung untuk beraji-mumpung pada suami orang yang sedang beruntung. Ealah, kalo matre gene sebaeknya kelaut aje...

Padahal budaya kita telah bergulir. Tidak lagi memandang wanita sebagai makhluk yang harus dijajah atau dijadikan sangkar madu. Namun telah memberi tempat terhormat pada kedudukannya. Bahkan menghargai sepenuhnya peranan wanita dan ibu yang bersifat kodrati. Penghormatan seperti ini, memang bukan berarti harus mengurangi tanggung jawab kaum pria dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat. Tapi justru sebagai dampak kemajuan sekaligus buah pembangunan.

Modernisasi, jelas, membawa dampak nyata bagi kaum wanita. Memberikan konsekuensi semakin beratnya tanggung jawab yang harus dipikul. Di satu sisi tetap harus membina kehidupan rumah tangga sebagai tanggung jawabnya yang terpenting. Namun di sisi lain dituntut peran nyata dan komitmennya dalam mendorong kemajuan.

Boleh saja kecantikan, pesona eksotik dan kerlingan diekspresikan demi menggapai tujuan. Namun harus tetap berada pada koridor moral dan nilai budaya bangsa yang sangat dijunjung dan diagungkan. Artinya jangan sampai dijadikan senjata pamungkas dalam merebut harta, posisi, hak dan kekuasaan. Sebab senjata wanita saat ini, sekali lagi, adalah kematangan konsepnya, terjaga kualitas intelektualnya, jembar cakrawala pengetahuannya, berjiwa sosial, idealis, adil, tak gampang dirayu dan tak suka merayu, serta kepribadiannya memancarkan cahaya dan citra diri wanita Indonesia yang lembut, penuh kharisma dan tenggang rasa.

No comments:

Popular Posts